BeritaBudayaDaerahEdukasi

Apa dan  Siapa Serta Bagaimana Jodhokemil

×

Apa dan  Siapa Serta Bagaimana Jodhokemil

Sebarkan artikel ini

Magelang,Indonesia Emas-Jodhokemil mungkin bukan sekadar kelompok musik. Mereka adalah ruang kejadian batin—tempat bunyi, tubuh, suasana, dan kejutan duduk semeja. Karya mereka lahir dari berbagai momen: bisa karena perenungan panjang, bisa juga muncul spontan seperti angin yang lewat, bekicot yang terinjak, atau daun-daun yang berguguran di gelap malam. Setiap nada adalah peristiwa yang punya cerita.

Didirikan pada 2014, Jodhokemil tumbuh dari keberagaman. Tidak semua personel berasal dari dunia musik. Ada yang perupa, ada yang penari. Perbedaan latar belakang ini memperkaya cara pandang, cara mendengar, dan cara mereka menghadirkan suara. Mereka adalah pemusik pelaku kejadian.

Nama Jodhokemil berasal dari dua kata Jawa: jodho berarti jodoh, pertemuan yang selaras—antara individu, suara, atau bahkan kejadian. Kemil berasal dari ngemil—yakni mengunyah pelan, tidak tergesa menelan. Mereka percaya, tidak semua yang hadir bisa langsung dimengerti. Ada hal-hal yang perlu dikunyah dulu untuk bisa dirasa maknanya. Dalam arti lain, kemil juga berarti kemakmuran—bukan semata materi, tapi limpahan pengalaman, keintiman, dan pertumbuhan.

Jodhokemil tidak terikat genre. Dalam satu lagu, bisa saja muncul suara saron, biola, bedug, bas listrik, gitar listrik, cik, bahkan suara tubuh yang tidak sengaja. Mereka percaya, suara yang jujur tidak perlu dikotakkan. Musik mereka kadang seperti meditasi, kadang jenaka meski bukan untuk melucu, kadang mengandung kritik sosial, bisa menyayat, menghibur, atau sekadar menjadi tempat pulang bagi jiwa yang ingin rehat.

Mereka tidak menyusun daftar lagu tetap. Beberapa lagu kadang muncul sebagai pembuka atau penutup, tapi selebihnya mereka membiarkan alur pertunjukan mengalir mengikuti suasana dan pertemuan yang terjadi. Karena musik bagi mereka bukan urutan yang harus ditepati, tapi peristiwa yang hidup dan terus berubah.

Trending :
Dukung Program "Sedekah Oksigen"Pengelola, Lakukan Penanaman Pohon Di Areal Wisata

Di atas panggung, mereka tidak berpura-pura sempurna. Kalau lupa atau salah, mereka ulang. Kalau ada angin atau isyarat lain yang membawa arah baru, mereka terbuka untuk mengalir ke sana. Kadang mereka mengaransemen ulang lagu secara spontan di panggung, memberi kebaruan entah pada tempo atau irama. Kadang aransemen baru itu bisa lahir dari keheningan, tawa, atau bahkan kejanggalan.

Setiap personel memiliki mic sendiri, bukan hanya untuk bernyanyi, tapi agar bisa saling mendengar tanpa harus membisik. Mereka kadang merokok, ngopi, bercanda, bahkan saling menyela di atas panggung. Bukan karena menggampangkan ruang pertunjukan, tapi karena mereka ingin menjadikan panggung sebagai ruang yang hangat dan setara.

Pertunjukan mereka kadang melibatkan penonton. Saat suasana memungkinkan, mereka memberi isyarat untuk bersahut-sahutan, menirukan suara kendang, atau sekadar bernapas bersama dalam diam. Tapi tidak semua lagu membuka pintu itu. Mereka percaya bahwa keterlibatan pun punya waktu dan getarnya sendiri.

Bahkan cahaya bisa menjadi bagian dari musik mereka. Mereka mungkin meminta lampu diredupkan, dimatikan, atau bergerak mengikuti rasa. Bagi mereka, cahaya bukan sekadar penerang, tapi juga bagian dari irama.

Mereka sadar, tidak semua orang akan menyukai cara mereka. Kadang mereka ditinggalkan, dan mereka tidak mengapa. Karena yang mereka bawa bukan paket hiburan, tapi ruang rasa. Musik mereka bukan untuk memuaskan keinginan, tapi untuk menemani perjalanan. Mereka ngemil—mereka kunyah pelan-pelan—karena tidak semua hal harus ditelan mentah-mentah.

Mereka juga tidak otomatis menerima semua undangan atau tanggapan. Mereka ingin tahu: ini acara apa? Mengapa mereka perlu hadir di sana? Apa yang bisa mereka bagi? Bukan demi seleksi, tapi karena mereka percaya bahwa setiap pertemuan punya tanggung jawab batin.

Trending :
Kapolres Bondowoso Bersama Forkopimda Turun Langsung Cek Lokasi TPS yang Susah Dijangkau

Mereka jarang memainkan lagu yang sedang tren atau banyak diputar. Bukan karena anti, tapi karena mereka membawa lagu-lagu sendiri. Kadang mereka berkata, “Kalau pengin dengar lagu itu, mungkin bisa cari dan putar sendiri.” Lagu-lagu mereka bukan katalog permintaan, tapi kejadian yang mereka pilih untuk hadirkan bersama.

Ketika orang bertanya, “Ini musik aliran apa?” Mereka menjawab, “Terserah menyebutnya apa.” Mereka tidak sedang membangun genre. Mereka hanya menyuarakan yang perlu disuarakan. Kalau suatu saat ada yang memberi nama pada ini semua, mereka akan tersenyum dan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan.

Jodhokemil belum selesai. Mereka belum ingin selesai.
Setiap pertunjukan, setiap nada, setiap kejadian adalah bagian dari jodho—pertemuan yang tidak terduga namun terasa tepat. Dan itu cukup untuk membuat mereka terus bertumbuh.

Kalau mungkin berjodho dengan mereka, selamat datang.
Kalau belum, mungkin suatu hari nanti.(red)